Tubuh Perempuan

 

Di sebuah negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran, seorang perempuan dicaci—bukan karena kebohongan, bukan karena kejahatan, tapi karena rahimnya.

Kita menyaksikan, sekali lagi, bagaimana tubuh perempuan bukan miliknya. Ia adalah milik tafsir orang lain. Ia adalah milik negara, milik norma, milik bahasa yang sejak mula dirangkai oleh lidah-lidah lelaki.

Ketika seorang perempuan diserang dengan kata “mandul,” kita tidak hanya menyaksikan hinaan, melainkan sebuah ingatan yang jauh, yang menggema dari peradaban lama, yang tak pernah benar-benar berlalu—di mana perempuan diukur dari fungsi reproduksi, seakan rahim adalah legitimasi kemanusiaan.

Saya membaca berita itu dengan diam. Bukan karena tak marah. Tapi karena ini bukan hal baru. Ini hanya satu sobekan kecil dari gulungan kertas usang yang kita sebut sejarah. “Mandul” bukan sekadar kata. Ia adalah tanda. Ia menunjukkan sebuah pandangan dunia yang masih hidup dan bersuara. Pandangan yang menaruh kehormatan perempuan bukan pada akalnya, bukan pada karyanya, tetapi pada kemampuan biologisnya untuk melahirkan. Jika gagal, ia dianggap tak utuh. Atau bahkan lebih buruk: tak berguna.

Masogini bukan sekadar kebencian terhadap perempuan. Ia adalah sistem nilai. Ia hidup dalam bahasa, dalam gurauan warung kopi, dalam khutbah yang sesekali kehilangan welas asih. Ia hidup di cara kita menyebut perempuan yang tak menikah, atau yang terlalu menikmatinya. Ia hadir ketika perempuan dikecilkan menjadi fungsi: sebagai istri, sebagai ibu, dan bila ia gagal, atau memilih tidak, maka ia dianggap telah gagal sebagai manusia.

Pandangan ini bukan hanya tak adil, tapi juga sesat secara moral dan teologis. Rahim bukan syarat ketakwaan. Dan perempuan tidak dicipta sebagai alat reproduksi semata. Dalam Al-Qur’an, perempuan disebut sebagai “mitra sejajar” (zauj) dalam penciptaan. Bukan subordinat.

Teringat kisah Khadijah, seorang saudagar yang usianya lebih tua, lebih kaya, lebih berdaya. Tak pernah sekalipun Nabi menghinanya karena usia atau rahimnya. Tak pernah ia menjadi subordinat dari cinta. Justru dari rahim kebijaksanaannya, lahir keberanian Rasul Muhammad menantang tradisi Quraisy yang menindas.

Apa yang dibanggakan para lelaki seketika runtuh di hadapan Maryam yang justru melahirkan tanpa lelaki?! Bahkan Aisyah, meski tidak pernah melahirkan, tapi sejarah membuktikan bahwa intelektualitas Islam lewat hadis-hadis Nabi yang diriwayatkannya justru hidup hingga hari ini?!

Jadi siapa sebenarnya yang mandul? Perempuan yang tak punya anak? Atau budaya yang tak mampu menumbuhkan hormat?

Sang penista “rahim” itu mungkin hanya satu suara dari banyak. Tapi suara itu menggema karena ia berasal dari kekuasaan. Dan kekuasaan, ketika disandingkan dengan lidah masoginis, lebih berbahaya dari senjata. Ia menggores harga diri, mengukuhkan bahwa menjadi perempuan adalah menjadi rawan dihina, bila tak sesuai cetakan.

Islam tidak pernah menempatkan perempuan dalam cetakan. Ia menempatkan manusia pada taqwa. Dan taqwa tidak memiliki jenis kelamin.

Mungkin kita perlu membaca kembali bukan hanya Qur’an, tapi juga diri kita sendiri. Kita, yang membiarkan masogini tumbuh karena diam. Kita, yang memandang perempuan dengan syarat, dan laki-laki dengan pujian.

Harus terus diingatkan, bahwa “keselamatan seorang insan bergantung lisan”, bahwa luka sosial bermula dari kata-kata. Dan penyembuhannya pun harus dimulai dari kata yang lain—yang lebih lembut, lebih adil, lebih manusiawi.

Karena rahim memang bisa tak melahirkan. Tapi lidah, bisa mencipta peradaban, atau malah menghancurkan?!

 

*Tulisan ini juga dipublikasikan pada laman Geotimes.Id dengan judul, “Mandul”.

Komentar

Artikel Favorit

Kalabaka Maniasa, Sjahrir, dan Sumpah Pemuda

Nubuwat Rasul Muhammad

Kritik Publik