"Liyan" Di Tanah Raja-Raja

 

Konflik itu datang lagi. Tak seperti ombak yang membawa garam ke daratan, tak seperti angin laut yang menyapu lembut dinding rumah. Ia datang dengan bedil dan tebasan parang, dengan amarah yang tak lagi bisa disimpan di dalam dada. Di Langgur, di Sawai, di Tulehu dan Tial. Tanah yang bertaut sejarah panjang perdagangan dan perjumpaan, hari ini kembali terguncang oleh sesuatu yang lebih purba dari kapal-kapal dagang yang dulu singgah: prasangka!

 

Ketika orang-orang berhadapan dalam amarah, jarak antara satu dengan lainnya mengecil. Bukan karena kedekatan, melainkan karena batasan menjadi lebih tegas. Ada aku, dan ada dia, atau Liyan—yang bukan bagian dari diri ini, yang jika perlu, harus dilawan, ditundukkan, dikalahkan.

 

Sialnya, kita senantiasa membayangkan dunia dalam bentuk oposisi biner; antara hitam dan putih, antara sahabat dan musuh. Padahal, sejarah Maluku adalah sejarah silang budaya, silang rasa, dan silang hidup. Pelaut yang datang dari jauh singgah dan menetap. Orang-orang dari negeri seberang, dari jazirah dan daratan lain, berbaur dan menjadi bagian dari yang kita sebut “kita.” Tetapi dalam kekacauan, batasan itu kembali muncul. Liyan menjadi asing. Liyan menjadi ancaman.

 

Relasi “Aku-Engkau” vs “Aku-Itu”

Martin Buber, seorang filsuf Austria, pernah berkata bahwa dunia ini terdiri dari dua cara memandang: “Aku-Engkau” dan “Aku-Itu.” Dalam relasi “Aku-Itu,” yang lain tak lebih dari sebuah objek. Ia ada untuk digunakan, atau ditiadakan. Ia kehilangan kedalaman. Maka dalam konflik yang terjadi, apakah kita benar-benar melihat yang lain? Ataukah mereka hanya menjadi bayangan kosong dari ketakutan dan kemarahan kita sendiri?

 

Seorang pejabat yang turun ke jalan, mungkin dia seorang gubernur, wakil bupati, camat, bahkan pak RT yang datang menjenguk korban, pertanda Negara hadir. Tetapi apa yang kita harapkan dari kehadiran itu? Hukuman bagi yang bersalah? Perdamaian yang lahir dari kesepakatan politik? Atau sekadar reda sejenak sebelum badai berikutnya?

 

Maluku telah lama mengenal pela gandong, persaudaraan yang melampaui batas negeri, agama, dan garis keturunan. Sebuah sistem yang mengajarkan bahwa yang lain bukanlah musuh, tetapi saudara yang terpisah oleh perbedaan kecil. Konsep gandong mengajarkan bahwa liyan bukanlah ancaman, melainkan bagian dari diri yang lebih luas. Tetapi seperti banyak tradisi, pela gandong tak kebal perubahan zaman. Ia bisa terkikis. Manusia bisa alpa terhadapnya.

 

Karena perdamaian bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja—ia bukan hujan yang turun setelah kemarau panjang. Ia lebih menyerupai taman: harus dijaga, dipelihara, disiram, dan dibersihkan dari gulma. Belajar dari prahara Maluku 1999, upaya damai di Maluku bukan sekedar hasil kesepakatan elite, tetapi tumbuh dari bawah—dari warga, dari gereja, dari masjid, dari mama-mama pasar yang menolak harga dendam. Di sanalah perdamaian berakar, bukan dari ujaran pakar, bukan juga dari dokumen, tapi dalam keengganan mereka untuk kembali menyalakan api!

 

Perdamaian yang bertahan di Maluku pasca-konflik bukanlah karena konflik telah selesai, tetapi karena ada kehendak untuk terus mengelolanya, ada upaya bersama untuk belajar merawat ruang sosial menciptakan perjumpaan, bahkan dari hal yang paling sederhana: duduk bersama di satu meja makan.

 

Maka tugas orang Maluku tentu bukan sekedar bernostalgia tentang pela gandong sebagai warisan, tetapi menjadikannya sebagai praksis sehari-hari: dari ruang rapat hingga pelataran rumah, dari bacarita, pokrol, hingga kebijakan publik. Sebab yang paling berbahaya dari konflik adalah ketika kita mengira perdamaian telah datang, padahal ia hanya tertidur—dan tak ada yang berjaga.

 

Menuju Kesadaran Dialogis

Pertanyaannya adalah: apakah kita masih mampu melihat? Melihat "yang lain" bukan sebagai objek dari kemarahan kita, tetapi sebagai subjek yang juga bernapas, yang juga takut, yang ringkih, yang terluka? Apakah kita masih mampu menyapa? Bukan dengan teriakan, bukan dengan ancaman, tetapi dengan bahasa yang memungkinkan pemahaman?

 

Konflik memang bisa diatasi dengan perjanjian. Tetapi luka yang lebih dalam hanya bisa disembuhkan oleh perjumpaan yang lahir dari sebuah kesadaran dialogis, sebagaimana dikatakan Buber, yang hanya terjadi ketika kita memilih untuk melihat yang lain sebagai Engkau, bukan Itu!

 

Jika kita gagal melihat, maka sejarah akan terus berulang. Ombak akan kembali membawa garam ke daratan. Dan angin laut akan terus menyapu dinding rumah. Tapi di dalam rumah, di antara kita, keheningan akan tetap menganga—tak lagi sebagai jeda, tetapi sebagai jurang yang semakin menganga.

 

 

Malang, April 2025


*Artikel ini juga dimuat di koran digital TerasMaluku.com (04/04/25) dengan versi yang lebih ringkas.


Komentar

Artikel Favorit

Kalabaka Maniasa, Sjahrir, dan Sumpah Pemuda

Nubuwat Rasul Muhammad

Kritik Publik