BAKU BITIS: Antara Tradisi dan Kekerasan yang Tak Perlu
Masyarakat bereaksi. Ada yang marah, menuntut aparat keamanan bertindak. Ada yang menyalahkan pemerintah daerah, yang membiarkan insiden itu terjadi persis di depan kantor camat. Ada pula yang menggugat peran ulama, mempertanyakan di mana suara moral dalam hiruk-pikuk ini.
Tetapi, kekerasan di hari raya bukanlah hal baru di Banda. Pernah ada masa ketika baku hantam tidak lahir dari amarah atau dendam, melainkan dari sebuah tradisi.
Namanya ”baku bitis”. Ini bukan sekadar perkelahian, melainkan sebuah permainan. Tarung kaki yang mengandalkan keseimbangan dan ketahanan, serupa Muay Thai, tapi bukan agresi membabi buta. Dua kawan berdiri sejajar, saling merangkul dengan satu tangan, mengambil posisi kuda-kuda kaki siap menahan tendangan lawan di belakang. Tidak ada wasit. Tidak ada aturan tertulis. Yang ada hanya kesepakatan tak terucap: tidak boleh melukai. Dan jika ada yang terluka, tanggung jawab bersama untuk merawatnya.
Tidak seperti perkelahian liar yang kita saksikan hari ini, "baku bitis" adalah soal kebersamaan. Ini bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang mampu bertahan. Ia lahir dari semangat persaudaraan, bukan permusuhan.
Kini, tradisi itu memudar. Yang tersisa adalah kekerasan tanpa bentuk, tanpa aturan, tanpa makna.
Marah? Kecewa? Wajar. Tapi sekadar menghujat bukan jawaban. Banda Naira butuh lebih dari itu.
Mungkin, kita perlu kembali pada akar. Tapi bukan dengan nostalgia yang buta. "Baku bitis" bisa dihidupkan kembali, bukan sebagai sisa masa lalu, melainkan sebagai sesuatu yang relevan dengan masa kini—sebuah ruang bagi energi muda yang berlebih, yang sering kali tak tahu harus disalurkan ke mana.
Rekayasa sosial tidak selalu berarti penghancuran. Kadang, ia hanya soal menggeser sudut pandang, menemukan bentuk baru dari sesuatu yang lama.
Dan mungkin, dalam langkah kecil seperti itu, kita menemukan kembali Banda yang beradab.
Malang, April 2025
Komentar
Posting Komentar