Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Tubuh Perempuan

Gambar
  Di sebuah negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran, seorang perempuan dicaci—bukan karena kebohongan, bukan karena kejahatan, tapi karena rahimnya. Kita menyaksikan, sekali lagi, bagaimana tubuh perempuan bukan miliknya. Ia adalah milik tafsir orang lain. Ia adalah milik negara, milik norma, milik bahasa yang sejak mula dirangkai oleh lidah-lidah lelaki. Ketika seorang perempuan diserang dengan kata “mandul,” kita tidak hanya menyaksikan hinaan, melainkan sebuah ingatan yang jauh, yang menggema dari peradaban lama, yang tak pernah benar-benar berlalu—di mana perempuan diukur dari fungsi reproduksi, seakan rahim adalah legitimasi kemanusiaan. Saya membaca berita itu dengan diam. Bukan karena tak marah. Tapi karena ini bukan hal baru. Ini hanya satu sobekan kecil dari gulungan kertas usang yang kita sebut sejarah. “Mandul” bukan sekadar kata. Ia adalah tanda. Ia menunjukkan sebuah pandangan dunia yang masih hidup dan bersuara. Pandangan yang menaruh kehormatan perempuan bukan ...

"Liyan" Di Tanah Raja-Raja

Gambar
  Konflik itu datang lagi. Tak seperti ombak yang membawa garam ke daratan, tak seperti angin laut yang menyapu lembut dinding rumah. Ia datang dengan bedil dan tebasan parang, dengan amarah yang tak lagi bisa disimpan di dalam dada. Di Langgur, di Sawai, di Tulehu dan Tial. Tanah yang bertaut sejarah panjang perdagangan dan perjumpaan, hari ini kembali terguncang oleh sesuatu yang lebih purba dari kapal-kapal dagang yang dulu singgah: prasangka!   Ketika orang-orang berhadapan dalam amarah, jarak antara satu dengan lainnya mengecil. Bukan karena kedekatan, melainkan karena batasan menjadi lebih tegas. Ada aku, dan ada dia, atau  Liyan —yang bukan bagian dari diri ini, yang jika perlu, harus dilawan, ditundukkan, dikalahkan.   Sialnya, kita senantiasa membayangkan dunia dalam bentuk oposisi biner; antara hitam dan putih, antara sahabat dan musuh. Padahal, sejarah Maluku adalah sejarah silang budaya, silang rasa, dan silang hidup. Pelaut yang datang dari jauh singgah ...

BAKU BITIS: Antara Tradisi dan Kekerasan yang Tak Perlu

Gambar
Beberapa hari lalu, beredar sebuah video amatir: sekelompok remaja saling baku pukul di taman segitiga, di depan Tugu RIS, Banda Naira. Mereka bertukar serangan, kadang dari belakang, lalu lari menjauh, hanya untuk disusul oleh pukulan lain yang datang dari arah berbeda. Itu hari kedua Idulfitri, sebuah momen yang seharusnya merayakan kehangatan, bukan kegaduhan. Masyarakat bereaksi. Ada yang marah, menuntut aparat keamanan bertindak. Ada yang menyalahkan pemerintah daerah, yang membiarkan insiden itu terjadi persis di depan kantor camat. Ada pula yang menggugat peran ulama, mempertanyakan di mana suara moral dalam hiruk-pikuk ini.  Tetapi, kekerasan di hari raya bukanlah hal baru di Banda. Pernah ada masa ketika baku hantam tidak lahir dari amarah atau dendam, melainkan dari sebuah tradisi.    Namanya ”baku bitis”.  Ini bukan sekadar perkelahian, melainkan sebuah permainan. Tarung kaki yang mengandalkan keseimbangan dan ketahanan, serupa Muay Thai, tapi bukan agresi...