Guru Tua
Di negeri yang riuh oleh media sosial ini, nama-nama masih terus mengalir. Sebagian terlupakan sebelum sempat didengar; sebagian menetap, berdiam di benak seperti doa yang tak henti dibisikkan. Di antara nama-nama itu, ada yang lahir dari karisma sunyi dan ilmu yang jernih: Habib. Ulama. Tuan Guru. Guru Tua. Mereka tak datang dengan genderang atau sorak sorai, tapi dengan adab. Dengan keteladanan. Dengan perjalanan yang panjang dalam pengasingan batin dan kebijaksanaan.
Namun hari ini, di tengah segala yang gaduh, kata-kata bisa lebih tajam dari senjata, dan lebih sembrono dari peluru. Di sebuah mimbar—atau mungkin sekadar rekaman di gawai—seseorang melafalkan cercaan. Nama-nama yang selama ini dijaga dengan puasa dan zikir, dihina dengan tawa. Layaknya seseorang menyiram lumpur ke pusara ayahnya sendiri—tidak menghancurkan, tapi menodai sesuatu yang seharusnya suci.
Barangkali kita tak sedang bicara tentang satu orang yang keliru berkata, tapi tentang zaman yang kehilangan keseimbangan antara hati dan kata-kata. Zaman ketika kehormatan ulama bisa diukur dengan klik dan komentar. Ketika adab ditukar dengan ekspresi bebas yang dibela atas nama demokrasi—tapi melupakan tanggung jawab sosial yang seharusnya melekat di tiap kalimat.
Habib, Kyai, Ulama bukan sekadar identitas. Mereka adalah ruh yang menautkan langit dan bumi dalam hidup sehari-hari orang-orang kecil. Mereka bukan malaikat; mereka bisa salah, tentu. Tapi penghinaan terhadap mereka bukan sekadar soal personal—ia adalah luka sosial. Sebab di balik sosok-sosok itu, ada sejarah panjang transmisi ilmu, ada etos yang membentuk akhlak masyarakat, ada warisan yang tak tertulis tapi hidup dalam laku dan tata krama.
Dalam sejarah Indonesia, para habib dan ulama bukan hanya penceramah. Mereka adalah pemelihara nalar dan nurani. Dari Hadratussyaikh yang menyulut api resolusi, hingga Guru Tua yang membangun pendidikan dari lorong-lorong sunyi Sulawesi. Mereka membentuk kebangsaan kita—bukan dengan senjata, tapi dengan buku, dengan pesantren, dengan hidup yang disusun dalam kesederhanaan dan keyakinan.
Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri. Orang mengenalnya sebagai Guru Tua. Ia datang dari Hadramaut, Yaman—tanah para wali, pembawa ilmu dan cinta. Tapi ketika menjejak tanah ini, Indonesia menjadi pilihannya. Ia tidak sekadar tinggal, ia mencintai. Kecintaan yang tak dibuktikan dengan slogan semacam “Aku Pancasila”, tapi dengan cara mendidik anak-anak, memberi teladan lewat laku dan karya. Ia rela menyusuri kampung-kampung Palu yang sunyi. Merantau di kota-kota kecil di Timur yang bahkan belum punya sekolah. Ia hadir di sana, di bawah pohon, di surau kecil, di mimbar-mimbar yang didirikan dari kepercayaan, bukan kekuasaan.
Konon dalam mimpinya, Rasulullah memberi isyarat: "Jika Indonesia merdeka, benderanya adalah merah dan putih." Lalu, ia sampaikan pada sahabatnya, Hasyim Asy’ari. Dari mimpi itu, mengalir warna yang kini dikibarkan di setiap tiang negara. Sebagaimana cita-cita para leluhur, bendera kita pun lahir dari mimpi para kekasih Tuhan.
Ketika bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, Guru Tua sudah memulai karya-karyanya. Ia tak menggenggam senjata, tapi pena. Ia tidak beragitasi, tapi membangun sekolah, satu demi satu. Alkhairaat—yang berarti kebaikan—ia dirikan bukan sekadar sebagai institusi, tapi sebagai perpanjangan dari cita-cita suci: memerdekakan manusia lewat ilmu.
Ia pun tak sekadar seorang yang alim. Ia adalah penyair. Dari bibirnya mengalir syair, dari tangannya lahir ribuan guru. Dari jiwanya menguar keberanian: menolak penjajahan Inggris di tanah asalnya, lalu melangkah ke tanah ini, dan menetap, tanpa pernah pulang.
Kini, Alkhairaat telah memiliki ribuan sekolah, puluhan pesantren, hingga universitas yang melahirkan para sarjana di Timur Indonesia. Di belakang angka-angka itu, ada tangan seorang tua yang berjalan dari desa ke desa, mengajar dan merangkul. Ia tidak pernah memaksa orang menjadi muridnya, tapi mereka datang—karena dalam dirinya ada cahaya.
Indonesia, tanah air yang ia pilih, menjadi ladangnya. Ia tanamkan ilmu dengan benih kesabaran. Ia bangun sistem pendidikan dengan kepemimpinan yang bersandar pada cinta, bukan ambisi. Ia sabar dalam kemiskinan. Ia gigih dalam keterasingan. Ia teguh, bahkan ketika pemerintah menolaknya sebagai pahlawan nasional hanya karena ia belum menjadi warga negara Indonesia.
Namun sejarah bukan selalu soal pengakuan negara. Ia soal gema dalam hati rakyat. Dan di hati mereka yang merasakan manfaat dari Alkhairaat, dari sekolah-sekolah yang ia dirikan, dari doa-doa yang ia ajarkan, Guru Tua sudah lebih dari seorang pahlawan.
Di akhir hayatnya, ia bukan hanya menyisakan lembaga pendidikan, tapi juga cara hidup: untuk mencintai dengan sabar, untuk berjuang dalam diam, dan untuk percaya bahwa satu langkah kecil bisa mengubah nasib sebuah generasi.
Ketika seseorang menghina nama Guru Tua, yang dirusak bukan hanya reputasi, tapi kepercayaan panjang yang dirawat dari generasi ke generasi. Yang terusik bukan hanya keluarganya, bukan hanya murid-muridnya. Yang terusik adalah memori kolektif kita tentang kemuliaan. Yang retak adalah kesantunan publik yang selama ini dirajut dengan sabar.
Maka, upaya peradilan terhadap penghina barangkali bukan soal balas dendam. Ia mungkin sebentuk ikhtiar menyusun ulang keseimbangan yang telah terganggu. Sebentuk pengingat bahwa kita masih punya cara sendiri dalam menyembuhkan luka—dengan adab, bukan kebencian.
Dalam senyap, nama-nama itu terus dirapalkan. Mereka yang dihina tak membalas dengan hinaan. Mereka tahu, kehormatan bukan sesuatu yang bisa direbut, melainkan dijaga. Dan mereka telah lama tahu: kadang suara paling nyaring berasal dari kekosongan.
Sementara itu, kita—yang membaca, menonton, mengomentari—perlu kembali bertanya: apa yang kita warisi dari sang guru ini? Jika bukan ilmu, setidaknya adab.
*Artikel ini ditulis oleh seorang murid dari guru yang berguru pada “Guru Tua”.
Komentar
Posting Komentar