Kalabaka Maniasa, Sjahrir, dan Sumpah Pemuda

Lukisan "Rapat Pemuda Banda" 
(Sumber: Rumah pengasingan Sutan Sjahrir, Banda Naira)


Genosida Banda tahun 1621 menyisakan tanah tak bertuan, kebun-kebun pala kosong, dan ibu-ibu yang dipaksa menjanda. Banda menjadi kota mati. 


Tapi 2 bulan sebelum pembantaian VOC, ada seorang pemuda Banda yang berani dengan lantang menolak kolonisasi. Dia adalah Kalabaka Maniasa, seorang Banda-Belanda yang fasih berbahasa melayu dan Belanda. Kalabaka naik di atas kapal Jan Pieterszoon Coen berdebat soal Tindakan-tindakan VOC yang bengis. Coen berargumen bahwa tindakannya itu dikarenakan penduduk Banda yang keras kepala. Kalabaka menjawabnya tegas bahwa apa yang dilakukan Banda hanyalah untuk melindungi hak milik mereka, tanah tumpah darah, dan adat istiadatnya.


Debat itu berlangsung beberapa jam, Coen terus mencari segala cara untuk menguatkan alasannya untuk penaklukan, dia bahkan harus mengungkit-ungkit kasus terbunuhnya pimpinannya di tahun 1609, Ketika Verhoef dibantai secara sadis oleh warga Banda. Tapi Kalabaka tangkas membalasnya dengan membeberkan tindakan-tindakan serakah dan sejumlah pelanggaran perjanjian dagang seperti membangun benteng pertahanan yang dilakukan pimpinan-pimpinan VOC sebelumnya. Kalabaka menutup debat itu dengan suara lantang, “Banda tidak akan tunduk dan menyerah!”. Coen naik pitam lalu mengusirnya keluar.


Coen sangat emosional pasca perdebatan itu. Dia mencoba menahan malu bercampur marah karena telah dipatahkan semua argumentasinya. Batinnya terluka oleh kritik seorang anak muda Banda yang tak disangka begitu berani dan penuh semangat. Coen menyimpan dendam dalam-dalam. Jantungnya serasa robek tergores nama Youngheer Dirk Callennbacker, Orang Kaya (OK) Kalabaka Maniasa!


21 April 1621, sebuah lampu gantung jatuh dari langit-langit masjid Selamon. Membuat para serdadu yang sedang tidur berhamburan keluar. Martin T’Sionck yang ditunjuk Coen bertindak sebagai pimpinan lalu memerintahkan pasukannya memuntahkan seluruh isi magasin ke segala penjuru. Warga yang ditemukan ditembak mati, sebagian lari ke atas bukit-bukit. Sejumlah orang dituduh sebagai otak dibalik “rencana jahat” diiterogasi, bahkan keponakan Kabalaka yang masih kecil diseret paksa untuk mengakui keterlibatannya. Mengaku tentang sesuatu yang tak pernah mereka lakukan. Mengakui sebuah rekayasa dan tipu muslihat yang direncanakan Coen sebagai alibi.


Semua orang tahu, puncak dari “drama Coen” ini adalah apa yang terjadi di pinggir benteng Nassau pada 8 Mei 1621. Sebanyak 40 Orang Kaya (OK) yang paling berpengaruh dari berbagai  kelompok milisi Banda dirantai di dalam kurungan bambu. Diarak satu-persatu untuk menunggu hukuman. Sebelum eksekusi dimulai, dibacakan kesalahan-kesalahan mereka, kesalahan yang sungguh tak pernah mereka lakukan. Ada 8 OK yang dianggap paling berpengaruh mendapat giliran pertama menjalani hukuman potong empat, dan 32 lainnya mendapat hukuman penggal kepala. Kalabaka termasuk 8 orang pertama. Perlahan dia keluar dari pagar bambu, menekuk kaki, membusungkan dada dengan kepala tegak ke atas langit-langit Banda. Sekelebat samurai para Ronin menebas.

****

403 tahun setelahnya, Sjahrir dibuang ke Banda Naira. Setelah dari Digoel Papua yang penuh buaya dan malaria, Sjahrir akhirnya dapat menikmati Banda layaknya surga. Tapi Sjahrir tetaplah “orang buangan” Belanda. Statusnya sebagai tahanan politik membuatnya perlu terus waras dengan suasana di pulau tahanan.


Bersama Hatta, dia begitu akrab dengan para pemuda Banda. Sjahrir mungkin tidak pernah membaca laporan J.A Chijs tentang “penaklukkan Banda”, tapi batinnya mengilhami Banda seakan-akan dia telah mengkhatamkan seluruh isi cerita tentang Banda masa lampau.


Resah hati Sjahrir melihat banyak perkumpulan anak muda Banda yang bertikai hanya kalah sepak bola. Ada klub sepakbola Prins Hendrik, Klub Koningin Juliana, Klub Belgica yang di setiap kali bertanding selalu ada clash antar-pemuda, diawali dengan sindir-menyindir, lalu berjalan berkelompok-kelompok, dan ujungnya perang antar-geng.


Clash juga sering terjadi saat lomba perahu atau yang dikenal dengan “manggurebe belang”. Kekalahan akan secepatnya membuat anak muda berkelompok berdasarkan klub-klub sepakbola untuk adu jotos. Anak-anak muda Banda sangat rentan pertikaian. Gesekan antar-kelompok membuat jurang perbedaan menganga lebar.


Tapi Sjahrir tidak tinggal diam, dia lalu menginisiasi pembentukan “Persatuan Banda Muda” atau yang disingkat PERBAMU. Tujuannya sederhana, sekedar mengakrabkan anak muda Banda antar-kampung. Usulan ini awalnya ditolak karena orang Banda takut jika organisasi itu akan mengakibatkan orang-orang Banda bernasib sama dengan Sjahrir di-digoel-kan. Tapi Sjahrir lalu menjelaskan bahwa idenya tentang perkumpulan itu lebih bertujuan untuk pendidikan dan social saja, seperti perkumpulan olahraga, perpustakaan, koperasi, atau membantu orang dalam kematian.


Perbamu dengan cepat menjelma menjadi lebih solid. Di bidang olahraga, dia semacam “PSSI” nya Banda Naira yang menghimpun jago-jago sepakbola dari tiap kampung yang diberi nama klub “Neira”. Di bidang koperasi, Perbamu menghimpun anggota aktif yang diasuh langsung oleh Bung Hatta. Sementara tugas Iwa Kusuma Sumantri dan Tjipto Mangunkusumo adalah sebagai donator tetap.


Perbamu juga memiliki semacam “rumah baca”, yang isinya adalah buku-buku dari terbitan Balai Pustaka dengan tema-tema mulai dari soal pertukangan, kerajinan tangan, sampai buku-buku agama, Koran dan majalah Belanda yang sudah tidak lagi dipakai para donator. Semua dihibahkan untuk pemuda-pemuda Banda agar melek literasi.


Tujuan lain dari organisasi Perbamu adalah mendirikan sekolah partkulir di Banda, yang direncanakan akan mendatangkan guru-guru dari Jawa. Tapi kecil kemungkinan sekolah itu bisa terwujud dikarenakan pihak kolonial tidak menyukai pendidikan alternatif yang menyaingi sekolah-sekolah mereka. Disisi lain, para anggota Perbamu juga masih sulit menutupi ketakutan mereka terhadap kelakuan penguasa yang despotik.


Pecah perang Dunia II dimana Nazi menyerang Belanda, pemerintah kolonial di Banda Naira menjadi kalap dan menuduh anggota-anggota Perbamu sebagai fasis. Mereka diinterogasi. Rumah mereka dirazia.


Menjelang kehadiran Dai Nippon di Maluku, Sjahrir dan Hatta mendapati kabar bahwa mereka harus segera meninggalkan Banda Naira. Selang beberapa minggu, keduanya di jemput pesawat Catalina yang mendarat di pantai Tita. Orang-orang Banda mengantar kedua tokoh itu dengan harapan sekaligus kecemasan. Hatta hanya mampu menitipkan sejumlah peti bukunya di Banda, sementara Sjahrir membawa serta beberapa anak angkatnya ikut bersama.


Dari atas langit-langit Banda, Sjahrir menuliskan catatan perjalanannya, Out of Exiles. Sepertinya hanya itu yang bisa dia titipkan kepada Banda dan tentu saja bangsa ini suatu hari nanti. Tentang kenangannya bersama anak-anak Banda, tentang pesona laut dan alam Banda, tentang perjuangannya membangkitkan rasa kebangsaan, persaudaraan, dan cinta tanah air.

****

Sejarah menunjukkan bahwa bangsa ini selalu melahirkan jiwa-jiwa pemuda tangguh yang tak pernah lekang termakan zaman. Mereka datang silih berganti, berjuang, jatuh, tapi selalu tumbuh lagi. Mereka bersumpah membela tanah tumpah darah meski berpeluh, berdarah-darah, bahkan mati. Usia sumpah para pemuda itu bahkan lebih tua dari umur Indonesia.


Di tahun 1928, sumpah itu membuat geger penguasa kolinial Hindia Belanda. Menjadi akumulasi suara sumbang berabad-abad lamanya. Memekik di telinga, menggoyahkan persendian penjajah yang congkak.


Untuk pertama kalinya para pemuda dari berbagai suku bangsa, beda bahasa, bahkan beda ideologi pemikiran bersatu di bawah sumpah. Mohammad Yamin asal Padang Panjang adalah seorang pujangga handal dunia sastra Indonesia dekade 1920-an; Amir Sjarifuddin asal Tapanuli adalah seorang ahli hukum kenamaan; Mohammad Roem asal Temanggung Jawa Tengah adalah sang advokat. Johannes Leimena asal Ambon adalah seorang dokter ahli; SM. Kartosoewirjo asal Cepu Jawa Tengah adalah Islamis tulen yang pernah menjadi sekretaris pribadi HOS.Tjokroaminoto,  dan Van der Plaas sebagai wakil Pemerintahan Belanda.


Basis ideologi dan orientasi politik para pemuda ini belakangan terkuak saling berbeda Haluan bahkan bertentangan. Misalnya, Amir Sjarifuddin, pemuda yang ternyata berhaluan kiri ini terkait erat dengan politik Musso 1936, dan diduga kuat menjadi dalang pemberontakan PKI di Madiun 1948. Mohammad Roem, meskipun memiliki nasionalisme yang tinggi, namun tidak tercerabut dari akar keislamannya yang kuat. Ia bahkan pernah berkonflik dengan Soekarno karena terlalu 'dekat' tokoh-tokoh PRRI, bahkan dipenjarakan dengan tuduhan percobaan pembunuhan Soekarno dalam peristiwa Cendrawasih 1962. SM Kartosoewirjo bahkan terlibat secara frontal dengan pemerintahan Soekarno, mendirikan NII 1949, dieksekusi di pulau Ubi dengan membawa paham Islami sampai mati. Van der Plass malah justru melanggengkan cengkraman Kolonial di berbagai peristiwa politik tanah air. Plass bahkan diduga menjadi arsitek dibalik gerakan PKI Madiun, juga PRRI-Permesta. Bisa jadi hanya Mohammad Yamin dan Johannes Leimena yang relatif konsisten dalam visi dan misi kebangsaan Indonesia, sampai akhir hayatnya.


Hebatnya, mereka yang berbeda haluan itu pernah duduk satu meja di tahun sembilas dua delapan. Berjanji dan bersumpah untuk satu perlawan terhadap penjajahan tanah air nya. Tanpa pandang perbedaan. Tanpa peduli haluan gerakan dan pemikiran. Sebagaimana para OK yang berjuang untuk hak-hak atas tanah dan marwah mereka, juga Sjahrir dan Hatta yang berjuang menegakkan kemerdekaan dan kemandirian rakyatnya.


Kini peran pemuda pantas kembali dipertanyakan. Sudah tentu kita telah terlepas dari kolonialisme VOC dan Belanda. Tidak ada lagi Dai Nippon yang memaksa. Tapi sudahkan kita benar-benar merdeka dari tirani kekuasaan? Dari despotisme yang mempertontonkan kesewenang-wenangan? Dari bapak kaya-berkuasa yang mewariskan segalanya hanya untuk kesenangan anak-cucunya? Atau jangan-jangan kita justru sedang menikmati tumbuh kembang “generasi strawberry” yang lihai mengakses teknologi dan pengetahuan tapi lembek, lemah, mudah marah, dan tak berpendirian??!!


Persatuan dan keteguhan prinsip sebagai bangsa sejatinya harus terus diperjuangkan. Sebab ia bukan “hadiah langsung dari Tuhan”. Melainkan sebuah cita-cita yang harus terus diupayakan. Meski lewat jatuh, bangun, luka, hina, terbuang, diasingkan, bahkan kematian.


Soempah Pemuda Sembilan Belas Dua Delapan adalah "janji" yang harus ditunaikan!



Banda Naira, 26 Oktober 2024

Komentar

  1. Kalabaka, Sjahrir, menjadi contoh semangat pemuda yang sungguh berapi-api untuk memberikan solusi yang hebat dalam setiap problematika keadaan yang terpampang depan mata. Pemuda masa kini harus mawas diri untuk lebih membara lagi dalam nyala api didadanya. Tulisan yg menginspirasi Pak Doktor, terima kasih 🙏

    BalasHapus
  2. Karya yang cukup menginspirasi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Artikel Favorit

Nubuwat Rasul Muhammad

Kritik Publik