HIJRAH

(Ilustrasi pinterest.com)

Secara terminologi, Hijrah mengandung dua makna, yaitu hijrah makani (fisik) dan hijrah maknawi (non-fisik). 
Hijrah makani adalah hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri yang batil menuju negeri damai dan sejahtera. Sementara hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman.

Secara historis, konstruksi peradaban Islam dimulai sejak dimulainya masa hijrah. Saat itu, masyarakat Yastrib (Madinah) sebagai tuan rumah mau menerima kedatangan kaum Muhajirin Makkah dengan sepenuh hati membuka lebar kesempatan untuk menempati wilayah Yatsrib sebagai tempat hunian bersama. 

Rasulullah dan para sahabat kemudian mampu membangun komunitas yang selanjutnya dikenal dengan masyarakat madani. Bangunan peradaban dalam masyarakat Madinah itulah yang kemudian memancar dan mampu memberi warna dunia, kekuatan aqidah yang membentang, kecemerlangan akal-budi yang menghiasi peradaban emas Islam hingga 7 Abad lamanya.  

Bagaimana menerjemahkan hijrah di zaman kini? 

Hijrah sebenarnya adalah urusan yang berat dan sangat sulit. Jalannya terkadang penuh liku dan berduri. Bagai mengarungi lautan, dan mendaki puncak-puncak gunung, bagai hidup di antara sekumpulan binatang-binatang buas dan berbisa. Hijrah sesungguhnya merupakan perkara yang berat bagi diri manusia. Karena secara naluriah, manusia umumnya lebih memilih untuk menetap, tidak berpindah-pindah tempat tinggal.  

Hijrah jika diterjemahkan pada masa kini mengandaikan pemahaman yang kontekstual, sesuai dengan kondisi zaman kini, namun tetap berorientasi kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dalam kehidupan sosial, hijrah mengandaikan upaya keras untuk meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan yang menjalar dalam sendi-sendi pergaulan bebas anak muda masa kini; berbagai bentuk tipu-muslihat dalam hidup manusia, dan semua bentuk iri dan dengki dalam hidup persaudaraan kita.

Dalam kehidupan politik, hijrah mengandaikan upaya maksimal untuk menolak semua aksi sogok-menyogok, bentuk-bentuk politik uang, politik pencitraan, meskipun semua itu sudah dianggap realita politik kita. Karena, sebuah realita bukan berarti harus diterima begitu saja (taken for granted), melainkan harus ditolak, apalagi jika itu bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Dengan berhijrah, diyakini akan melahirkan model-model pergaulan yang sehat, interaksi dan komunikasi yang jujur dan saling percaya, dan persaudaraan yang kokoh antar keluarga, tetangga, rekan kerja, dan antar masyarakat umumnya. Dengan berhijrah, diharapkan dapat melahirkan praktik politik yang bermoral, steril dari aksi-aksi provokatif murahan.

Sudah saatnya kita bergerak menuju tempat yang lebih baik dan menyelamatkan, jika itu diperlukan. Namun jika tidak, maka cukuplah menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.

Komentar

Artikel Favorit

Kalabaka Maniasa, Sjahrir, dan Sumpah Pemuda

Nubuwat Rasul Muhammad

Kritik Publik