Tubuh Perempuan

Di sebuah negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran, seorang perempuan dicaci—bukan karena kebohongan, bukan karena kejahatan, tapi karena rahimnya. Kita menyaksikan, sekali lagi, bagaimana tubuh perempuan bukan miliknya. Ia adalah milik tafsir orang lain. Ia adalah milik negara, milik norma, milik bahasa yang sejak mula dirangkai oleh lidah-lidah lelaki. Ketika seorang perempuan diserang dengan kata “mandul,” kita tidak hanya menyaksikan hinaan, melainkan sebuah ingatan yang jauh, yang menggema dari peradaban lama, yang tak pernah benar-benar berlalu—di mana perempuan diukur dari fungsi reproduksi, seakan rahim adalah legitimasi kemanusiaan. Saya membaca berita itu dengan diam. Bukan karena tak marah. Tapi karena ini bukan hal baru. Ini hanya satu sobekan kecil dari gulungan kertas usang yang kita sebut sejarah. “Mandul” bukan sekadar kata. Ia adalah tanda. Ia menunjukkan sebuah pandangan dunia yang masih hidup dan bersuara. Pandangan yang menaruh kehormatan perempuan bukan ...