Postingan

Tubuh Perempuan

Gambar
  Di sebuah negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran, seorang perempuan dicaci—bukan karena kebohongan, bukan karena kejahatan, tapi karena rahimnya. Kita menyaksikan, sekali lagi, bagaimana tubuh perempuan bukan miliknya. Ia adalah milik tafsir orang lain. Ia adalah milik negara, milik norma, milik bahasa yang sejak mula dirangkai oleh lidah-lidah lelaki. Ketika seorang perempuan diserang dengan kata “mandul,” kita tidak hanya menyaksikan hinaan, melainkan sebuah ingatan yang jauh, yang menggema dari peradaban lama, yang tak pernah benar-benar berlalu—di mana perempuan diukur dari fungsi reproduksi, seakan rahim adalah legitimasi kemanusiaan. Saya membaca berita itu dengan diam. Bukan karena tak marah. Tapi karena ini bukan hal baru. Ini hanya satu sobekan kecil dari gulungan kertas usang yang kita sebut sejarah. “Mandul” bukan sekadar kata. Ia adalah tanda. Ia menunjukkan sebuah pandangan dunia yang masih hidup dan bersuara. Pandangan yang menaruh kehormatan perempuan bukan ...

"Liyan" Di Tanah Raja-Raja

Gambar
  Konflik itu datang lagi. Tak seperti ombak yang membawa garam ke daratan, tak seperti angin laut yang menyapu lembut dinding rumah. Ia datang dengan bedil dan tebasan parang, dengan amarah yang tak lagi bisa disimpan di dalam dada. Di Langgur, di Sawai, di Tulehu dan Tial. Tanah yang bertaut sejarah panjang perdagangan dan perjumpaan, hari ini kembali terguncang oleh sesuatu yang lebih purba dari kapal-kapal dagang yang dulu singgah: prasangka!   Ketika orang-orang berhadapan dalam amarah, jarak antara satu dengan lainnya mengecil. Bukan karena kedekatan, melainkan karena batasan menjadi lebih tegas. Ada aku, dan ada dia, atau  Liyan —yang bukan bagian dari diri ini, yang jika perlu, harus dilawan, ditundukkan, dikalahkan.   Sialnya, kita senantiasa membayangkan dunia dalam bentuk oposisi biner; antara hitam dan putih, antara sahabat dan musuh. Padahal, sejarah Maluku adalah sejarah silang budaya, silang rasa, dan silang hidup. Pelaut yang datang dari jauh singgah ...

BAKU BITIS: Antara Tradisi dan Kekerasan yang Tak Perlu

Gambar
Beberapa hari lalu, beredar sebuah video amatir: sekelompok remaja saling baku pukul di taman segitiga, di depan Tugu RIS, Banda Naira. Mereka bertukar serangan, kadang dari belakang, lalu lari menjauh, hanya untuk disusul oleh pukulan lain yang datang dari arah berbeda. Itu hari kedua Idulfitri, sebuah momen yang seharusnya merayakan kehangatan, bukan kegaduhan. Masyarakat bereaksi. Ada yang marah, menuntut aparat keamanan bertindak. Ada yang menyalahkan pemerintah daerah, yang membiarkan insiden itu terjadi persis di depan kantor camat. Ada pula yang menggugat peran ulama, mempertanyakan di mana suara moral dalam hiruk-pikuk ini.  Tetapi, kekerasan di hari raya bukanlah hal baru di Banda. Pernah ada masa ketika baku hantam tidak lahir dari amarah atau dendam, melainkan dari sebuah tradisi.    Namanya ”baku bitis”.  Ini bukan sekadar perkelahian, melainkan sebuah permainan. Tarung kaki yang mengandalkan keseimbangan dan ketahanan, serupa Muay Thai, tapi bukan agresi...

Guru Tua

Gambar
Di negeri yang riuh oleh media sosial ini, nama-nama masih terus mengalir. Sebagian terlupakan sebelum sempat didengar; sebagian menetap, berdiam di benak seperti doa yang tak henti dibisikkan. Di antara nama-nama itu, ada yang lahir dari karisma sunyi dan ilmu yang jernih: Habib. Ulama. Tuan Guru. Guru Tua. Mereka tak datang dengan genderang atau sorak sorai, tapi dengan adab. Dengan keteladanan. Dengan perjalanan yang panjang dalam pengasingan batin dan kebijaksanaan.   Namun hari ini, di tengah segala yang gaduh, kata-kata bisa lebih tajam dari senjata, dan lebih sembrono dari peluru. Di sebuah mimbar—atau mungkin sekadar rekaman di gawai—seseorang melafalkan cercaan. Nama-nama yang selama ini dijaga dengan puasa dan zikir, dihina dengan tawa. Layaknya seseorang menyiram lumpur ke pusara ayahnya sendiri—tidak menghancurkan, tapi menodai sesuatu yang seharusnya suci.   Barangkali kita tak sedang bicara tentang satu orang yang keliru berkata, tapi tentang zaman yang kehilanga...

Politik Reduktif VS Politik Saintifik

Gambar
Politik reduktif itu politik yang mengalami pendangkalan makna. Ia dangkal karena terjebak kedalam isu-isu murahan, perkara rekaan atau rekayasa yang tidak bermutu. Kasak-kusuk untuk kepentingan sesaat, dan senantiasa menebar surga untuk para pemburu amplop tipis yang bahagia dengan recehan.   Politikus reduktif selalu bermain pada level akar dan selamanya disana. Dia tahu betul rendahnya intelektualitas orang awam yang mudah dipermainkan hanya dengan janji kata-kata, sambil mengkonstruksi profil pujaannya berdasarkan asumsi, lalu membangun narasi lawan hanya berdasarkan dugaan dan curiga.    Sebaliknya, Politik saintifik adalah politik yang mengedepankan rasionalitas, strategik, cerdas, mempertontonkan keindahan paradigma, refleksif, bukan provokatif. Mengagungkan moralitas bukan banalitas ketamakan, mengutamakan budaya malu berbuat curang bukan “malu hati yang palsu”, itu.   Politikus jenis ini sadar bahwa posisinya mungkin tak seindah sinetron korea, tapi gagasann...

Kalabaka Maniasa, Sjahrir, dan Sumpah Pemuda

Gambar
Lukisan "Rapat Pemuda Banda"  (Sumber: Rumah pengasingan Sutan Sjahrir, Banda Naira) Genosida Banda tahun 1621 menyisakan tanah tak bertuan, kebun-kebun pala kosong, dan ibu-ibu yang dipaksa menjanda. Banda menjadi kota mati.   Tapi 2 bulan sebelum pembantaian VOC, ada seorang pemuda Banda yang berani dengan lantang menolak kolonisasi. Dia adalah Kalabaka Maniasa, seorang Banda-Belanda yang fasih berbahasa melayu dan Belanda. Kalabaka naik di atas kapal Jan Pieterszoon Coen berdebat soal Tindakan-tindakan VOC yang bengis. Coen berargumen bahwa tindakannya itu dikarenakan penduduk Banda yang keras kepala. Kalabaka menjawabnya tegas bahwa apa yang dilakukan Banda hanyalah untuk melindungi hak milik mereka, tanah tumpah darah, dan adat istiadatnya. Debat itu berlangsung beberapa jam, Coen terus mencari segala cara untuk menguatkan alasannya untuk penaklukan, dia bahkan harus mengungkit-ungkit kasus terbunuhnya pimpinannya di tahun 1609, Ketika Verhoef dibantai secara sadis oleh ...

Nubuwat Rasul Muhammad

Gambar
(Ilustrasi freepik.com) Setelah mengalami musim kemarau panjang, kondisi Arab di tahun 570 Masehi diguyur hujan lebat. Tanahnya yang dulu gersang kini subur dan ditumbuhi pepohonan dengan buah-buahan yang lebat. Kota Bakka (Makkah) sebagai zona ekonomi dan pusat peribadatan yang ramai dikala itu semakin indah mempesona, membuat “cemburu” Abraha dari Abisena (Ethiopia) yang ingin menggeser popularitas Ka’bah dengan membangun “kuil tandingannya” di kota Shan’a, Yaman. Alih-alih menyaingi Ka’bah, kuil Abraha malah dikotori seorang Badui Arab sebagai bentuk protes. Abraha naik pitam. Dia menyerukan perang besar terhadap Makkah dan merencanakan penghancuran total bangunan Ka’bah. Abraha membawa 60.000 pasukan tempur, 9 ekor gajah sedang, dan 1 ekor gajah paling besar yang ditungganginya sendiri. Namun banyak kelompok (kabilah Arab) tidak tinggal diam, karena Ka’bah adalah pujaan mayoritas bangsa Arab. Banyak kabilah menyiapkan pasukan tandingan menghadang Abraha. Mulai kabilah Dzu Nafr di Y...